Tahun ajaran 2024/2025 akan segera dimulai. Permendikbud Nomor 12 Tahun 2024 menjadi payung hukum bagi implementasi Kurikulum Merdeka secara nasional, yang merupakan upaya untuk merevolusi sistem pendidikan di Indonesia. Kurikulum ini menekankan pentingnya pembelajaran yang fleksibel dan adaptif. Salah satu aspek utama dari Kurikulum Merdeka adalah pembelajaran berdiferensiasi, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar setiap murid secara individual. Dalam konteks ini, gaya belajar sering kali menjadi bagian dari diskusi yang sangat menarik. Kita mungkin sudah pernah mendengar istilah seperti "gaya belajar visual", "gaya belajar auditori", atau "gaya belajar kinestetik". Namun, apakah konsep ini benar-benar didukung oleh penelitian ilmiah? Atau, apakah kita terjebak dalam salah kaprah yang umum terjadi dalam pendidikan?
Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita mulai dengan mengingat kembali apa itu pembelajaran berdiferensiasi dan bagaimana kaitannya dengan gaya belajar.
Pembelajaran Berdiferensiasi dan Gaya Belajar
Pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha guru untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas yang memenuhi kebutuhan belajar murid. Guru dapat melihat kebutuhan belajar murid paling tidak berdasarkan tiga aspek, yaitu kesiapan belajar (readiness), minat murid, dan profil belajar murid. Kesiapan belajar mencakup sejauh mana murid telah memiliki prasyarat pengetahuan dan keterampilan untuk mempelajari materi atau keterampilan baru. Minat murid mencerminkan sejauh mana topik atau kegiatan pembelajaran menarik bagi mereka yang dapat memotivasi dan meningkatkan partisipasi mereka dalam proses belajar. Sedangkan profil belajar mengacu pada cara-cara paling baik bagaimana murid belajar. Hal ini dapat meliputi gaya belajar, kecepatan belajar, serta preferensi terhadap metode dan media pembelajaran tertentu.
Dalam melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi, fokus utama seharusnya adalah untuk memastikan setiap murid mendapatkan kesempatan belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan potensinya, bukan semata-mata pada preferensi gaya belajar mereka. Dengan demikian, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung perkembangan semua murid secara optimal. Namun, sayangnya gaya belajar masih sering jadi fokus utama. Mengapa demikian? Menurut penulis salah satu alasannya karena intuisi, dimana kita cenderung percaya bahwa kita tahu gaya belajar terbaik bagi diri kita sendiri. Selain itu banyak pelatihan dan tulisan-tulisan yang masih mempromosikan gagasan ini.
Lantas, apa itu gaya belajar?
Gaya belajar merujuk pada gagasan bahwa setiap individu memiliki metode belajar yang paling efektif bagi mereka. Ada berbagai model gaya belajar, namun salah satu yang paling terkenal adalah model VAK (visual, auditori, kinestetik). Meskipun konsep gaya belajar sangat populer dan menarik untuk didiskusikan, namun belum ada bukti ilmiah yang mendukung bahwa konsep ini efektif dapat meningkatkan hasil belajar murid.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2018 di jurnal Anatomical Sciences, para peneliti menemukan bahwa murid tidak hanya belajar dengan cara yang tampaknya mencerminkan gaya belajar mereka. Selain itu, mereka yang menyesuaikan pembelajaran dengan gaya mereka juga tidak mendapatkan hasil tes yang lebih baik. Pendapat lainnya juga mengungkapkan bahwa gaya belajar berpotensi menghambat pertumbuhan murid. Misalnya, jika seseorang dicap hanya cocok dengan salah satu gaya belajar, maka ia tidak mempunyai kesempatan untuk menguatkan dan mengembangkan gaya belajar lainnya. Mereka mungkin hanya belajar dengan cara yang sesuai dengan gaya belajarnya meskipun hal tersebut belum tentu dapat membantu mereka sukses. Bahkan lebih parah, mereka bisa saja akan menghindari cara belajar lainnya yang lebih efektif jika mereka yakin cara tersebut tidak cocok untuk gaya belajarnya.
Jadi, meskipun setiap orang memiliki preferensi cara atau gaya belajar tertentu, tidak ada bukti yang kuat bahwa penyesuaian dengan preferensi ini membuat pembelajaran lebih efektif. Nah, bagaimana jika sebaliknya? Bagaimana jika pembelajaran melibatkan berbagai gaya belajar?
Misalnya, seorang guru mungkin menggunakan kombinasi visual (seperti diagram/gambar), auditori (seperti ceramah atau diskusi), dan kinestetik (eksperimen langsung) dalam satu pembelajaran untuk menjangkau semua murid. Atau misalkan guru menyiapkan berbagai media atau sumber belajar yang beragam dan dapat dipilih serta digunakan oleh murid. Kemudian murid diberikan kebebasan untuk menuangkan gagasannya atau pengetahuannya kedalam catatan atau rangkuman dalam bentuk dan model yang beragam. Bukankah pendekatan ini akan membuat pembelajaran menjadi lebih dinamis dan membantu murid mengembangkan kemampuannya untuk belajar melalui berbagai cara?
Alih-alih fokus pada penyesuaian metode pengajaran dengan mengelompokkan murid berdasarkan gaya belajar yang spesifik, akan lebih bermanfaat jika pembelajaran dilakukan dengan strategi yang beragam dan dinamis. Dengan demikian, pembelajaran bisa menjadi lebih inklusif dan efektif bagi semua. Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar lebih dipengaruhi oleh kualitas pengajaran dan konten materi daripada oleh penyesuaian dengan gaya belajar murid. Guru yang kompeten dan materi yang menarik cenderung lebih berpengaruh pada keberhasilan murid. Meskipun demikian, gaya belajar tetap dapat digunakan sebagai rujukan dalam menyusun strategi atau menyediakan konten, sumber atau media pembelajaran yang beragam.
Dengan mengetahui bahwa tidak ada satu cara terbaik untuk belajar, kita dapat lebih fleksibel dalam pendekatan kita terhadap pembelajaran, serta dapat membuka pintu bagi metode pengajaran yang lebih kreatif dan adaptif. Jadi, mari kita lebih terbuka terhadap berbagai metode pembelajaran dan fokus pada peningkatan kualitas pengajaran dan konten materi untuk hasil yang lebih baik. Tentunya harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan belajar murid.
Sumber:
0 Comments