"Tenang itu mahal". Sebuah kalimat yang tiba-tiba terlintas saat mata ini mengawasi jalannya ujian semester genap tahun ini. "Harap tenang, ada ujian", kalimat ini santer familiar dan sering terpampang di gerbang sekolah setiap kali musim ujian tiba. Namun, kali ini bukan ketenangan saat ujian yang ingin ku bagikan, melainkan ujian bagi ketenangan itu sendiri.
Pernahkah hati kalian terusik oleh perbuatan seseorang? Pengalaman terusik oleh perbuatan kurang menyenangkan dari orang lain tentu saja bisa menimbulkan perasaan yang tidak nyaman. Ibaratnya, seperti saat kita berjalan dengan riang, tiba-tiba kaki tersandung kerikil kecil. Meskipun kecil, ia mampu menghentak, bahkan membuat kita limbung.
Padahal, bisa jadi selama ini hati kita terasa lapang dan damai, lalu tiba-tiba terusik oleh tindakan yang tidak terduga. Sakit hati? Tentu, itu adalah respon yang paling wajar, apalagi jika ini adalah kali pertama mengalaminya. Mungkin akan menjadi pengalaman baru, sebuah persinggungan pertama dengan sisi lain dari interaksi antar manusia. Namun, jika kita telaah dari sudut pandang yang lebih luas, barangkali kita bisa melihatnya sebagai bagian dari perjalanan hidup yang penuh warna. Dalam menghadapi situasi ini, keyakinan mendalam bahwa setiap perbuatan akan menuai hasilnya seringkali menjadi kompas penuntun. Kalimat "I'm afraid that i cross the line" hadir bagaikan dzikir penenang, lantunan yang menahan diri dari gejolak keinginan membalas perlakuan serupa.
Sebagaimana Hukum 3 Newton dalam fisika mengajarkan tentang aksi reaksi yang menyatakan bahwa setiap aksi (gaya) akan menghasilkan reaksi yang sama besar namun berlawanan arah. Dalam hukum alam semesta, aku meyakini bahwa setiap aksi memang memiliki reaksi, meskipun bentuk dan waktunya mungkin tidak selalu persis seperti yang kita bayangkan. Dalam hal persinggungan diatas, memilih untuk tidak membalas adalah sebuah keputusan yang memerlukan kematangan emosi dan kekuatan spiritual. Ini bukan berarti lemah, justru sebaliknya, menunjukkan adanya pengendalian diri yang kuat. Meminta kekuatan hati untuk mengendalikan diri adalah langkah yang bijaksana. Kekuatan hati bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang perlu dipupuk dan dilatih. Dalam setiap situasi yang kurang menyenangkan, ada kesempatan untuk melatih kesabaran, keikhlasan, dan kemampuan untuk melihat hikmah dibaliknya.
Mungkin, pengalaman tersebut hadir sebagai sebuah ujian, sebuah kesempatan untuk mengenali diri sendiri lebih dalam dan tentang ragamnya sifat manusia. Kita belajar bahwa tidak semua orang akan memiliki pandangan dan niat yang sama dengan kita. Ada kalanya, kita akan berhadapan dengan orang-orang yang mungkin memiliki cara berinteraksi yang berbeda, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang kita pegang. Namun, ditengah pengalaman yang kurang menyenangkan ini, ada ruang untuk pertumbuhan diri. Belajar tentang batas diri, tentang apa yang bisa kita toleransi dan apa yang tidak. Kita juga belajar tentang pentingnya menjaga kedamaian hati, meskipun di tengah badai ketidaknyamanan yang kita rasakan.
Ketenangan hati adalah kekuatan yang luar biasa. Ketika kita mampu memberikan respons dengan kepala dingin dan hati yang lapang untuk situasi sulit yang dihadapi, kita tidak hanya menjaga diri dari energi negatif, tetapi juga membuka ruang bagi solusi yang lebih bijak. Pengalaman ini, meskipun terasa menyakitkan, bisa menjadi sebuah pelajaran berharga dalam perjalanan hidup. Ia mengajarkan kita tentang keragaman interaksi manusia, tentang pentingnya menjaga hati, dan tentang kekuatan memilih untuk merespons dengan cara yang lebih baik. Semoga kekuatan hati senantiasa menyertai Sobat dalam meghadapi setiap tantangan.
0 Comments