Dunia Pendidikan Indonesia saat ini sedang digemparkan dengan pendekatan Pembelajaran Mendalam. Pendekatan ini mengajak kita melihat proses belajar bukan sekedar transfer ilmu belaka, melainkan sebuah perjalanan berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan. Murid tidak hanya diharapkan menghapal, tapi benar-benar memahami, mengaplikasi, dan merefleksi setiap ilmu yang sedang dipelajari. Sebagai seorang guru, aku selalu percaya bahwa tugas guru lebih dari sekedar mengajar. Salah satunya adalah menemani murid dalam perjalanan belajar mereka. Di kelas ku, kelas matematika, perjalanan itu seringkali diperlihatkan melalui kisah-kisah kecil yang tak terduga.
Dalam tulisan ini, aku ingin menceritakan kisah salah seorang murid yang mengajarkan esensi dari pembelajaran mendalam ini.
Awalnya, ia merasa kesulitan dengan materi yang sedang dipelajari. Tidak jarang kalimat-kalimat dengan nada pesimis diucapkannya dengan lantang. Wajahnya selalu tegang setiap kali diberikan soal baru, seolah ia melihat tembok tinggi di depannya yang mustahil untuk dilewati. Tapi anak ini berbeda, ia tidak menyerah, ia terus mencoba, bahkan rela kehilangan sekian menit waktu istirahat hanya untuk menuntaskan tugas yang diberikan.
Sampai suatu hari, ia mulai memahami konsep dan mulai terbiasa menjawab soal-soal yang diberikan. Senyum tulus dengan mata berbinar dan tawa riang menjadi ekspresi kebahagiaan layaknya seseorang yang baru saja menemukan harta karun. Kalimat yang diucapkan pun bukan lagi tentang ketidakmampuannya, melainkan rasa bahagia yang meluap-luap. Momen itu bukan tentang benar atau salah jawaban yang ia berikan, tapi tentang kebahagiaan murni yang muncul dari sebuah pencapaian. Di titik ini, aku menyadari ia sudah mulai menemukan makna dari proses belajar.
Puncaknya terjadi saat ulangan atau sebutan kekiniannya adalah penilaian sumatif. Ia sudah berusaha keras, tapi waktu terasa berjalan lebih cepat dari yang ia perkirakan. Waktu habis dan ia hanya berhasil menyelesaikan beberapa soal. Ia langsung tertunduk, memohon untuk merelakan waktu istirahatnya sebagai tambahan waktu dan tangisnya pecah. Awalnya, aku mengira ia menangis karena nilainya nanti akan jelek. Tapi saat ku dekati, aku melihat sesuatu yang lebih dalam. Tangis itu bukan air mata kegagalan. Itu adalah air mata refleksi. Ia tidak menyesali usahanya, tapi ia kecewa karena belum bisa mencapai targetnya. Ia sudah mulai berkesadaran akan proses belajarnya sendiri. Ia tidak lagi belajar karena paksaan, tapi karena ia peduli. Air mata itu adalah bukti bahwa ia ingin berhasil.
Kisah anak ini mengajarkanku bahwa pembelajaran sejati tidak selalu tercetak di lembar nilai. Itu terukir dalam setiap tetes keringat, setiap senyum kebahagiaan, dan bahkan setiap tetes air mata. Tugas kita, sebagai pendidik, adalah menciptakan ruang dimana setiap momen itu bisa menjadi bagian dari perjalanan yang bermakna.
Hy D, kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi air matamu saat ulangan itu adalah salah satu hal paling berharga yang pernah Ibu lihat. Bukan karena kamu tidak selesai, tapi karena air mata itu menunjukkan betapa kamu peduli, betapa kamu sudah berusaha, dan betapa kamu ingin menjadi lebih baik. Momen kamu berhasil mengerjakan satu soal matematika dan kamu tersenyum bahagia, itu jauh lebih berharga dari sekedar angka di kertas. Itu adalah bukti bahwa kamu punya potensi, punya tekad, dan punya hati yang besar untuk terus mencoba. Fly high, Desi ^_^


0 Comments