Coaching Untuk Supervisi Akademik - Koneksi Antar Materi Modul 2.3

 Kesimpulan dan Refleksi Coaching untuk Supervisi Akademik 

Pada modul 2.3 program pendidikan guru penggerak yang sedang saya ikuti, saya belajar tentang supervisi akademik yang berbeda dengan supervisi yang saya pahami dan yang saya alami sebelumnya. Jika sebelumnya, saya menganggap supervisi adalah sebuah kegiatan penilaian dari kepala sekolah atau pengawas kepada guru, namun pada modul ini saya belajar bahwa supervisi akademik adalah upaya untuk membantu guru dalam mengembangkan kemampuannya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pelaksanaannya adalah menggunakan pendekatan yang dimulai dengan paradigma berpikir yang memberdayakan. Disebutkan bahwa paradigma yang memberdayakan adalah coaching. 

Ada 4 paradigma berpikir coaching yang harus diketahui oleh seorang coach. Pertama, fokus pada coachee atau rekan sejawat yang akan kita kembangkan. Kedua, bersifat terbuka dan ingin tahu. Seorang coach perlu berpikiran terbuka terhadap pemikiran-pemikiran rekan sejawat yang sedang dikembangkan (coachee). Usahakan untuk berpikir netral dan tidak menganalisisi pemikiran orang lain. Ketiga, memiliki kesadaran diri yang kuat. Kesadaran diri yang kuat membantu coach untuk bisa menangkap adanya perubahan yang terjadi selama pembicaraan dengan rekan sejawat. Selanjutnya, seorang coach juga harus mampu melihat peluang baru dan masa depan. Adapun dalam penerapannya, coaching memiliki tiga prinsip yaitu kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi. Dengan demikian, supervisi yang dilakukan bukan bersifat penilaian dari atasan, namun merupakan suatu proses yang dilakukan dengan tujuan untuk menuntun coachee menemukan ide baru atau cara untuk mengatasi tantangan yang dihadapi atau mencapai tujuan yang dikehendaki. Seorang coach disini bukan sebagai pelatih, namun sebagai mitra yang akan memancing pertanyaan efektif yang tujuannya adalah untuk mengajak coachee mengenali apa tujuan dan arah percakapan, serta menggali diri coachee dalam menemukan ide atau solusi guna mencapai tujuannya. 

Bagaimana perasaan ketika mempelajari hal yang baru?

Mempelajari Modul 2.3 tentang Coaching untuk Supervisi Akademik ini membuat saya merasa senang sekaligus tertantang. Meskipun merasa sedikit percaya diri bahwa saya bisa menjalaninya, namun ada perasaan khawatir dalam melaksankan aksi nyata. Sebab, sejauh ini pemahaman saya dengan rekan guru lainnya tentang supervisi tidaklah berbeda. Istilah supervisi identik dengan penilaian. Saya tidak ingin adanya kesalahpahaman saat melakukan supervisi kepada rekan di sekolah dan membuat mereka merasa sedang dinilai. 

Apa yang sudah baik dan yang harus diperbaiki?

Dalam mempelajari modul ini, saya merasa sudah mampu berkolaborasi dengan baik bersama rekan sesama CGP saat mempraktekkan proses coaching menggunakan alur tirta. Saya juga sudah merasa melakukan hal yang sudah sesuai dengan prinsip coaching. Selain itu, saat mempraktekkannya, saya belajar untuk mengendalikan diri dari asumsi-asumsi pribadi dan rasa emosi. Adapun hal yang masih perlu saya kembangkan dalam diri saya adalah dalam mengajukan pertanyaan berbobot. Untuk itu, saya mencoba melakukan beberapa hal diantaranya adalah fokus mendengarkan coachee bercerita dan mengusahakan sebisa mungkin agar pandangan saya tertuju pada coachee. Seiring berjalannya waktu dan pengalaman melakukan coaching, saya berharap kemampuan ini akan berkembang menjadi lebih baik. 

Bagaimana peran saya sebagai coach di sekolah dan dalam pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran?

Sebagai seorang guru, melakukan coaching terhadap murid berarti membantu mereka menggali dan memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk menyelesaikan segala tantangan yang sedang dihadapi. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yaitu untuk menuntun kekuatan kodrat anak sehingga mereka dapat memperoleh kemerdekaan belajar di sekolah.

Sistem among yang dianut Ki Hajar Dewantara menjadikan guru dalam perannya bukan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan bagi murid, melainkan sebagai mitra yang menuntun mereka mengoptimalkan keterampilan yang dimiliki (kodrat iradat murid). Dalam hal ini, coaching merupakan pendekatan yang sangat ideal sebab  melalui proses coaching, guru dapat menggali kebutuhan belajar murid sehingga dapat menerapkan pembelajaran berdiferensiasi di kelasnya. Sebagaimana KHD mengibaratkan bahwa guru adalah petani dan murid adalah tanaman yang berbeda. Beda tanaman tentu beda pula perlakuannya.

Selain itu, pendekatan sosial dan emosional dalam praktek coaching sangat diperlukan. Melalui pertanyaan reflektif, guru dapat menuntun murid untuk menemukan kedewasaan berpikir melalui kesadaran dan pengelolaan diri, sadar akan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya, serta mampu mengambil keputusan berdasarkan berbagai sudut pandang dengan mempertimbangkan etika, norma sosial, dan keselamatannya.

Dengan demikian, kemampuan guru melakukan supervisi akademik tentu akan berdampak terhadap kompetensinya sebagai pemimpin pembelajaran. Dimana guru menjadi lebih luwes dalam menerapkan pembelajaran yang berpihak pada murid dan peran guru penggerak sebagai coach bagi guru lain akan lebih dapat dioptimalkan. Tentunya, kedua peran ini akan menjadi lebih baik jika guru memiliki pengetahuan yang baik tentang pembelajaran sosial emosional. Terutama saat melakukan coaching, guru harus memuliki kesadaran diri dan kesadaran sosial yang baik. Juga harus mampu menahan diri dari keinginan untuk berkomentar atau memberikan penilaian terhadap coachee yang ingin dikembangkan.

Sekian tulisan kali ini, semoga bermanfaat.

Salam semangat ^_^















Post a Comment

0 Comments